INFOSEMARANG.COM -- kabar seputar Tupperware bangkrut sedang jadi isu hangat di kalangan masyarakat.
Seperti yang diketahui, peralatan rumah tangga yang jadi favorit ibu-ibu ini sudah puluhan tahun ada.
Hampir setiap kepala keluarga rata-rata memiliki satu sampai dua perabotan dari Tupperware, mulai dari tempat bekal makanan hingga tempat minum.
Baca Juga: Perut Erina Gudono di Unggahan Kaesang Pangarep Jadi Sorotan, Sedang Hamil?
Bahkan, konon ibu-ibu cenderung lebih perhatian pada perabotan plastik yang diklaim mempunyai ketahanan pakai yang luar biasa.
Lantas mengapa Tupperware bisa bangkrut? Melansir The Scotsman, seorang pakar branding dan dosen di Edinburg Napier University berpendapat.
Adalah George Shepherd, menyatakan bahwa kebangkrutan yang dialami oleh Tupperware karena sistem penjualan yang masih menggunakan skema seperti Brownie Wise, atau merek make up Avon.
Di Indonesia sendiri lebih dikenal sebagai Multi Level Marketing (MLM).
George mengungkapkan, strategi pemasaran yang demikian itu dianggap inovatif di jaman 60-70an.
Baca Juga: Ada-Ada Saja! Alasan Sudah Bayar Pajak, Ibu-Ibu Ini Gak Mau Bayar Barang Belanjaan di Minimarket
Goerge mengatakan perusahaan Tupperware merupakan contoh nyata bahwa sebuah brand besar dan penuh sejarah tak mampu berinovasi dan beradaptasi sesuai kebutuhan konsumen.
Secara garis besar George juga menyatakan bahwa harga yang dibanderol oleh Tupperware cenderung tak bisa bersaing di pasaran, dengan kualitas yang hampir mirip konsumen lebih memilih brand lain yang lebih murah.
Baca Juga: Doa setelah Salat Dhuha, Hafalkan agar Rezeki Semakin Lancar
Sementara dari segi lainnya,kini masyarakat yang cenderung lebih senang dengan produk-produk ramah lingkungan, tidak akan memilih Tupperware, produk berbahan plastik berada di rumahnya.
Sementara itu, diketahui Perusahaan minggu lalu menerima pemberitahuan ketidakpatuhan dari NYSE karena gagal mengajukan laporan tahunan ke Komisi Sekuritas dan Bursa, dan memiliki waktu enam bulan sejak tanggal jatuh tempo pengajuan untuk mendapatkan kembali kepatuhannya, meskipun bursa dapat memulai proses penghapusan pencatatan atas kebijakannya sendiri.***