INFOSEMARANG.COM -- Teknik baru yang pernah viral di TikTok adalah sindrom "lucky girl," yang sejatinya mengajak seseorang untuk merasa beruntung, sejahtera, dan menjadi magnet bagi hal-hal baik.
Namun, dibalik tren ini, ada aspek psikologis yang perlu diperhatikan.
Para pendukung sindrom ini meyakini bahwa dengan mengucapkan afirmasi positif seperti "Segala yang saya inginkan dan butuhkan sedang dalam perjalanan menuju saya saat ini. Saya terbuka untuk menerimanya," mereka bisa menjadi "lucky girl."
Baca Juga: Pelamar CPNS PPPK 2023 Justru Mengeluh Waktu Pendaftaran Diperpanjang, Kenapa?
Tren ini juga terlihat di Instagram, di mana pengguna menyatakan hal serupa.
Namun, ide ini mengingatkan pada konsep "hukum tarik-menarik" yang sudah ada sebelumnya dan diterapkan dalam buku "The Secret" yang ditulis oleh Rhonda Byrne pada tahun 2006.
Konsep ini berbicara tentang mewujudkan keinginan dengan hanya mengucapkannya.
Seperti sindrom lucky girl, hukum tarik-menarik juga mendorong orang untuk mengulangi mantra positif.
Meskipun video TikTok mengenai lucky girl mendapat banyak perhatian, seorang psikolog, Robert West, mengingatkan bahwa ide semacam ini telah muncul berkali-kali sebelumnya dalam sejarah manusia.
Pemikiran magis, yang percaya bahwa pemikiran dan tindakan seseorang dapat mempengaruhi dunia nyata, sudah ada sejak lama.
Baca Juga: Bukan Kopi! Ini 10 Minuman yang Efektif Hilangkan Rasa Ngantuk di Jam Kerja
Namun, West menekankan bahwa pemahaman yang benar adalah bahwa manusia hanya bisa memengaruhi nasib mereka melalui tindakan nyata.
Keyakinan bahwa pemikiran positif saja sudah cukup, bisa membahayakan, karena dapat mencegah seseorang untuk mengambil langkah-langkah konkret yang membantu mereka dan orang lain.
Selain itu, sindrom lucky girl bisa memicu "ilusi positif," yang membuat seseorang melebih-lebihkan kemampuan mereka dan melupakan realitas.
Sebuah tinjauan tahun 2015 dalam jurnal Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa ilusi positif dapat mengarah pada pengambilan keputusan buruk dan perilaku berisiko tinggi.
Tinjauan ini juga menyoroti bahaya dari ilusi kausal, yaitu menghubungkan dua peristiwa yang sebenarnya tidak terkait.
Ini dapat membuat orang lebih cenderung percaya pada teori-teori yang tidak ilmiah.
Sindrom lucky girl sendiri serupa dengan "optimisme yang dipelajari," yang menganggap bahwa segala sesuatu akan selalu baik.
Namun, para ahli menekankan bahwa lebih baik mempercayai kemampuan diri sendiri dan tidak terlalu mengandalkan manifestasi mistis.
Singkatnya, sindrom lucky girl mengajak kita untuk memahami pentingnya tindakan konkret dan pemahaman yang realistis terhadap kehidupan.
Optimisme yang berlebihan bisa berdampak negatif jika tidak diimbangi dengan usaha nyata.***