INFOSEMARANG.COM -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dengan tegas mengecam kasus kawin tangkap yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Kementerian PPPA, kasus ini merupakan perbuatan penculikan dan kekerasan terhadap perempuan yang harus segera dihentikan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati.
Ia menjelaskan bahwa kawin tangkap adalah tindakan yang melanggar hak perempuan untuk hidup dalam keamanan tanpa adanya kekerasan.
Kawin tangkap seharusnya tidak dapat dijustifikasi sebagai bagian dari adat atau budaya.
"Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat," katanya dikutip dari Antara pada Sabtu, 9 September 2023.
Pernyataan tersebut mencuat setelah video rekaman tersebar di media sosial, menunjukkan sejumlah pria mengenakan pakaian adat yang menangkap seorang perempuan di pinggir jalan.
Perempuan tersebut dengan cepat digendong oleh mereka dan dibawa pergi dengan menggunakan mobil bak terbuka.
Tindakan ini diduga sebagai praktik kawin tangkap, yang sayangnya masih ada dalam beberapa tradisi di NTT.
Ratna Susianawati menekankan bahwa hal tersebut adalah tindakan kriminal yang harus dihentikan demi melindungi perempuan dari kekerasan seksual yang berbalut alasan budaya.
Lebih lanjut, Ratna Susianawati menyoroti pentingnya menangani relasi kuasa dalam kasus-kasus seperti kawin tangkap.
Baca Juga: Wali Kota Semarang Pastikan Kelangsungan Pasokan Air Bersih Terjaga Meski Selama Musim Kemarau
Menurutnya, relasi kuasa yang tidak adil tidak dapat dipertahankan dalam konteks ini.
Kementerian PPPA mengingatkan bahwa pada tahun 2020, telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba antara Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba.
Oleh karena itu, Kementerian PPPA mendesak aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kawin tangkap.
"Untuk itu kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap. Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," katanya.
Sementara itu, Tim penyidik Polres Sumba Barat Daya Polda Nusa Tenggara Timur sedang melakukan pemeriksaan terhadap enam orang saksi dalam kasus "kawin culik" atau kawin tangkap yang dialami oleh DM (20) yang diduga melibatkan unsur kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan.
Enam orang saksi yang dimintai keterangan oleh penyidik adalah DM sebagai korban, ibu korban, dan empat orang terduga pelaku, termasuk sopir kendaraan pick-up yang digunakan oleh terduga pelaku untuk mengangkut korban saat peristiwa terjadi.
Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan melalui Kasat Reskrim Polres Sumba Barat Daya Iptu Rio Rinaldy Panggabean mengungkapkan kasus "kawin culik" atau kawin tangkap yang terjadi merupakan budaya yang dilakukan di Pulau Sumba, tetapi tentu saja bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
"Kepolisian hanya membidik indikasi dugaan terjadinya penculikan," kata Kasat Reskrim Iptu Rio Rinaldy Panggabean.
Berdasarkan keterangan para saksi yang dimintai keterangan oleh Kepolisian, sebelumnya telah terjadi pembicaraan adat antara pihak keluarga wanita dan pihak keluarga laki-laki.
Namun, kata Rio Rinaldy Panggabean, kepolisian sedang menyelidiki apakah ada unsur pidana penculikan terhadap seseorang sesuai hukum pidana dan merampas kemerdekaan sesuai pasal 328 dan 333 KUHP.
Kasat Reskrim Polres Sumba Barat Daya Iptu Rio Rinaldy Panggabean mengatakan bahwa semua terduga pelaku yang dimintai keterangan oleh penyidik masih dalam status saksi.
"Kami masih melakukan pemeriksaan dengan status saksi setelah itu nanti dilakukan gelar perkara untuk ditingkatkan pada status penyidikan dan penetapan tersangka," kata Rio Rinaldy Panggabean.
Ia menekankan bahwa budaya tertentu memang perlu dilestarikan, tetapi harus dipertimbangkan apakah budaya tersebut masih relevan untuk dilakukan pada zaman sekarang atau tidak, karena budaya yang ada juga dapat melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia.
"Apalagi sudah ada nota kesepakatan yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan anak RI bersama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan empat bupati di Pulau Sumba terkait peningkatan perlindungan perempuan dan anak di empat kabupaten di Pulau Sumba pada 2020 lalu," ujarnya.
Baca Juga: Proyek Pelebaran Jalan Veteran Kota Semarang Telah Dimulai, Ditargetkan Rampung Desember 2023
Sebagaimana diketahui, kasus kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya terjadi pada Kamis, 7 September 2023pukul 10.00 WITA di kampung Erunaga, Desa Weekurra, Kecamatan Kota Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Pada saat itu, korban DM (20) berada di rumah keluarganya. Beberapa saat kemudian, paman korban datang untuk memberitahu korban tentang keributan di belakang rumah budaya.
Korban kemudian pergi bersama paman korban ke lokasi tersebut. Ketika tiba di pertigaan Wowara, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, paman korban turun dari sepeda motor untuk membeli rokok.
Beberapa saat kemudian, sekitar 20 orang pelaku melakukan penculikan terhadap DM (20) dan membawanya ke rumah milik terduga pelaku di Kamu Erunaga, Desa Weekura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Aksi penculikan tersebut terekam kamera warga dan viral di media sosial. Berdasarkan video yang beredar, aksi itu dinarasikan sebagai tradisi kawin tangkap atau kawin paksa.***