INFOSEMARANG.COM- Pegunungan Kendeng, yang menghiasi utara pulau Jawa, menawarkan cerita misteri yang mengundang penasaran.
Daerah ini konon menjadi tempat tinggal bagi komunitas Sedulur Sikep, yang juga dikenal sebagai Orang Samin.
Saat ini, kita akan menjelajahi sejarah dan budaya unik mereka. Pegunungan Kendeng, yang membentang sekitar 250 km di utara Jawa, menyimpan banyak rahasia.
Baca Juga: 5 Olahraga Malam yang Baik Dilakukan, Salah Satunya Jalan Kaki
Di tengah kehijauan dan ketenangan Pegunungan Kendeng, terdapat sebuah kelompok masyarakat yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep, atau pada zaman dahulu dikenal sebagai Kaum Samin atau Wong Samin.
Sedulur Sikep bukanlah suku, tetapi masyarakat biasa yang memiliki sesepuh bernama Eyang Buyut Samin Surosentiko.
Menurut Sugiartono, seorang tokoh masyarakat Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, sebutan Wong Samin telah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Baca Juga: Olahraga Malam Hari Tak Selalu Baik, Wajib Tahu Resiko yang Mungkin Dialami
“Samin itu ajaran Mbah Samin Surosentiko, makanya disebut Samin. Kalau Sedulur Sikep itu saudara yang merengkuh atau memeluk. Tapi kalau di Klopoduwur, bukan Eyang Samin, tapi Eyang Buyut Engkrek. Menurut cerita, Eyang Buyut Engkrak itu murid Eyang Samin,” kata Sugihartono seperti dikutip Infosemarang.com dari Antara pada 26 Oktober 2023.
Namun, untuk mengelabui pemerintah kolonial, Wong Samin mengubah identitas mereka menjadi Sedulur Sikep.
Di tengah modernisasi yang merambah Pegunungan Kendeng, beberapa ajaran Sedulur Sikep masih bertahan, seperti gaya bicara mereka yang khas.
Gaya bicara ini tampaknya penuh perlawanan, seolah-olah mereka selalu bersikeras dan suka membantah.
“Begini, menurut cerita [leluhur], berdagang itu kebanyakan berbohong. Bohongnya bagaimana, ngomong kulakan Rp60.000, padahal belum tentu benar dan dijual berapa,” tambah dia.
Gaya bicara khas ini dulunya digunakan untuk melawan penjajah, mengacaukan mereka dengan pura-pura lugu dan bodoh.
Baca Juga: Bekas Luka Hitam Membandel? Ini Bahan-bahan Alami yang Bantu Menghilangkannya!
Namun pada akhirnya mampu melawan ketidakadilan.
Namun, saat ini, gaya bicara ini lebih sebagai bahan guyonan daripada alat perlawanan.
Selain dari gaya bicara unik mereka, Sedulur Sikep dikenal karena larangan mereka terhadap berdagang.
Baca Juga: Pusing Setelah Olahraga, Apa Penyebabnya?
Menurut Sugiartono, berdagang dianggap seringkali melibatkan kebohongan, sehingga di masa lalu, mereka melarang aktivitas berdagang.
Oleh karena itu, banyak masyarakat Sedulur Sikep, terutama yang tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng, memilih menjadi petani.
Di Desa Klopoduwur, mereka banyak menggarap lahan yang dimiliki oleh Perhutani.
Baca Juga: Dampak Buruk Film Horor Terhadap Anak di Bawah Umur, Bisa Sebabkan Gangguan Psikologis hingga Fobia
Meskipun Pegunungan Kendeng menawarkan kondisi alam yang subur, masyarakat Sedulur Sikep sering bekerja di luar desa saat musim kemarau, biasanya sebagai pekerja konstruksi.
Namun, untuk saat ini, Sedulur Sikep Samin menerima berbagai jenis pekerjaan, bukan hanya pertanian.
Bahkan Sugiartono, seorang tokoh Sedulur Sikep, kini bekerja sebagai pegawai di RSUD Blora.
Baca Juga: Dampak Buruk Film Horor Terhadap Anak di Bawah Umur, Bisa Sebabkan Gangguan Psikologis hingga Fobia
Beberapa kebiasaan aneh Sedulur Sikep, seperti larangan berdagang, tidak ingin sekolah, dan tidak mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA), kini telah memudar.
Mengenai pendidikan, sekarang di desa mereka telah memiliki berbagai tingkatan sekolah.
Sedulur Sikep kini juga lebih terbuka terhadap mencatatkan pernikahan di KUA.
Sebagai warga Sedulur Sikep Samin, yang sebagian besar masih tinggal di Pegunungan Kendeng, mereka memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat Indonesia.
Mereka menekankan pentingnya kerukunan dan agama sebagai pedoman hidup.
Bagi mereka, kebersamaan dan kepercayaan adalah hal yang utama.***